tena

Tena salah satu grup Teater di Medan yang masih eksis di bawah arahan Yan Amarni Lubis. Produksi Teater Nasional ( Tena ) memang tidak banyak di usianya yang hampir setengah abad.

Burhan Piliang, Isqak,S, Mazwad Azham, Sori Siregar dan Rusli Mahadi adalah pendiri Teater Nasional , tepatnya tanggal 28 Oktober 1963, dengan produksi ' Garis Pisah' karya Taguan Hardjo, yang di pentaskan di Balai Prajurit dekat kantor Pos Besar Medan.

Rabu, 14 Oktober 2009

BUKU Oh BuKu.....

Esei
D.Rifai Harahap.

SASTRA MEDAN ABAD PLATINUM

Zaman sastra picisan telah lama berahir. Sejarah mencatat. Medan sebagai tempat penerbitan yang paling gencar dizamannya, kini redup seredupnya dikarenakan jago-jago pena kota Medan seperti Parada Harahap, Matu Mona, Adam Malik, Sutan Takdir Alisyahbana, Chairil Anwar, Sori Siregar, S. Dalimunte, Arie F.Batubara, Sugeng Satya Darma, R. Mulia Nasution, Tandi Skober, Foeza Hutabarat, Rizal Siregar yang belakangan ini asyik berpolitik dan banyak lagi yang lainnya, dan yang paling akhir sastrawan merangkap wartawan harian Waspada, begitu pension, hijrah ke Jakarta. Yang saya sebutkan terahir ini adalah rekan penulis yang paling pintar membuat seniman-seniman di Medan menggerutu bila membaca kritikan-kritikannya di ruang Budaya Waspada.

As. Atmadi memang cuma sebuah nama biasa. Tapi dia juga adalah seorang pemain sandiwara yang cerdas. Seorang pengasuh ruang Budaya Harian Waspada yang slektif menerima sumbangan tulisan dari penulis-penulis muda berbakat, dan akhirnya, harus diakui, banyak jebolan penulis usia muda yang mengisi rubric ‘budaya’ harian Waspada yang eksis baik yang hijrah ke Jakarta maupun yang masih menetap di Medan.

Sebenarnya rubric ‘budaya’ di harian-harian yang terbit di Medan bukan Cuma ada di harian Waspada, harian Analisa, Medan Pos, Mimbar Umum, Harian Global dan Medan Bisnis juga membuka rubric yang sama.. Sastra kora kalau boleh saya menyebutkan, da cerpen. Novel dan beberapa naskah sandiwara. Itu semua hasil swadaya para sastrawan yang ada di Medan.

Bagaimana di abad platinum sekarang ini? Setelah zamannya Sori Siregar, Zainuddin Tamir koto alias Zatako berhasil menaklukkan Jakarta, pendatang baru yang masih berusia muda yang ikut mengharumkan nama Sumatera Utara di khzanah bertaraf nasional adalah Hasan Albana, cerpenis yang pegawai negeri, sutradara dan juga adalah pemain sandiwara yang sangat cerdas dalam ber’akting’. Bagaimana dengan sastrawan perempuan? Ada Aisyah Basyar, Sumiati, Butet Manurung dan Dini Usman. Walau karya-karya mereka belum sampai ke tingkat nasional, tapi untuk Sumatera Utara mereka cukup dikenal lewat tulisan-tulisan berupa cerpen, puisi dan novel yang diterbitkan di Koran-koran Medan.

Hidup ini memang sangat singkat sekali. Mohammad Said dan Ani Idrus pendiri harian Waspada telah lama meninggalkan kita. Bung Yus pengarang yang hidup di zaman sastra picisan telah lama tiada. Herman KS, kritikus yang tulisan-tulisannya sangat ditunggu-tunggu para penulis di Medan maupun di Jakarta telah menghadap Khaliknya. Begitu juga dengan NA. Hadian, yang menobatkan dirinya sebagai presiden Penyair Sumatera Utara juga telah berpulang dengan meninggalkan setumpuk karya puisi yang belum berhasil ia publikasikan.

Kini adalah abad platinum. Abad serba cepat. Namun di Taman Budaya Sumatera utara, di saat-saat tertentu, akan terlihat sastrawan kondang di zamannya, pengarang ‘ Penakluk Ujung Dunia ’ , Bokor Hutasuhut jalan tertatih-tatih membawa semangat hidup berkeseniannya menemui pengarang-pengarang muda yang acap mangkal di Taman Budaya Medan. Begitu Bokor Hutasuhut yang telah uzur itu dating, seniman muda yang masih gagah, seperti Raudah Djambak, Hasan Albana dan yang lainnya dating berebutan membimbing Bokor Hutasuhut yang tertatrih-tatih. Apakah ini cerminan dunia sastra ( kesenian) di Sumatera Utara? Tidak jalan di tempat, tapi sulit maju kedepan dikarenakan na infuse yang disuntikkan tidak mengandung banyak gizi? Entahlah.

Tapi itulah gambaran peta berkesenian di Medan plus Sumatera Utara secara umum. Ada tapi terbata-bata. Tidak seperti A. Rahim Qahhar yang masih menggeliat walau nafas sudah diujung ubun-ubun. ARQ masih liar dalam membacakan puisi-puisi ‘ Sadam Husain’ nya bersama Damiri Mahmud dan Barani Nasution.

Pagelaran teater masih ada di Medan walau agak tersendat-sendat. Di bulan Oktober tanggal 4 malam Yondik Tanto dengan grupnya D’Lick Teater Team mementaskan ‘TOH’, aebuah repotoar karya Yondik sendiri dan di sutradarai olehnya sendiri. ‘TOH’ di awali dengan merintihnya seorang permpuan yang terikat ke dua tangannya p[ada sebuah gantungan. Di bawahnya tumpukan kain putih yang bergerak seiring rintihan perempuan yang terikat. Lewat naskahnya itu Yondik ingin menggambarkan pada penontonnya sebuah proses kelahairan yang amat sulit, kelahiran manusia, kelahiran akal budi, kelahiran baik dan buruk, dalam geliat simbolik yang agak sulit dicerna oleh penonton awam.

Seni tari. Sepertinya seni tari sekarang ini mendominir semua kegiatan latihan yang ada di Taman Budaya Medan. Tari walau masih dalam bentuk yang itu ke itu, tapi berhasil mengundang peminat, terutama kaula muda putrid dan anak-anak untuk mengikuti latihan tari di Taman Budaya.
Untuk saat ini, di Taman Budaya ada lima kelompok tari yang semuanya memiliki anggota latihan lebih kurang lima puluh peserta latihan di tiap grup.
Teater ? Selain Teater Generasi pimpinan Suyadi San, ada Teater Imago , D’Lick Teater Team, Teater Anak Negeri Pimpinan Idrus Pasaribu dan Teater Nasional yang lebih mengutamakan personil pelatihan ke Teater Imago Medan. Diluar Taman Budaya ada LKK Unimed dan Teater “O” dari sastra USU. LKK Unimed adalah yang paling produktip. Sementara kelompok Mahasiswa dari Aswaliah, UISI, Muhammadiah dan ITM belum begitu bergiat untuk tampil di luar kampus mereka. Tapi mereka ada.

Bagaimana dengan ‘seni rupa’ ? Ada. Tapi masih tetap belum mampu menguasai pasar. Beda dengan pelukis M. Yatim yang bermarkas di Tanjung Morawa. Pasar lukisan-luksan M. Yatim tidak lagi di Medan, tapi telah berhasil meminang pembeli dari Eropah. Slamat Chairi terlah tiada. Dua tahun lalu pelukis yang hamper 4 tahun hijrah ke Jakarta di sekitar tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, disisa usia tuanya ia mengabdikan dirinya sebagai guru Bahasa Inggeris di perguruan Pertiwi Medan. Semenjak ia ditinggal pergi oleh iosteri tercintanya, Slamet Chairi tinggal dari rumah kost ke rumah kost sampai akhir hayatnya. Sebelum Slamet Chairi meninggal dunia, ia masih sempat menggelar pameran lukisan cat airn di salah satu galeri yang ada di Medan Baru. Untuk dapat berpam,eran untuk yang terahir, ia dibiayai oleh pihak sponsor dengan imbalan bila ada lukisan yang laku, bagian Slamet Chairi 50 %. Namun sampai mengahadap Chaliknya, tak sebuah lukisan pun yang laku terjual.

Disamping Slamet Chairi yang telah tiada, pelukis-pelukis muda yang rajin menggelar pameran adalah Togu Sinambela, Kuntara DM, Rein Asmara, dan beberapa pelukis muda berbakat lainnya yang penulis lupa nama-namanya.

Seni rupa, Teater, tari, film, multi media dan sastra adalah kegiatan yang sebenarnya tidak asing bagi seniman yang ada di Sumatera Utara. Salah satu film produksi Medan, ‘ Turang’ pernah menjadi film terbaik dalam festifal film Indonesia di tahun 1950-an. Tahun 50-an sampai dengan tahun 60-an produksi Medan sangat diperhitungkan oleh orang-orang film yang ada di Jakarta. Kini hal itu tak lagi pernah terjadi. Anak Medan terus menunggu dan menunggu datangnya produksi film dari orang-orang Jakarta.

Di tahun 80-an, anak Medan yang bernama Abrar Siregar datang ke Medan untuk membuat film yang berjudul ‘Sorta’. Abrar Siregar awalnya adalah seorang wartawan di mingguan Mimbar Teruna Medan pimpinan Buyung Gandrung. Kedatangan Abrar
Siregar yangbtelah menjadi sutradara penuh setelah beberapa film menjadi asisten sutradaa Wim Umboh, sangat menggembirakan anak-anak Medan yang memiliki bakat di bidang acting. Tercatatlah beberapa nama Burhan Piliang, Rosnani Lubis yang ikut mendampingi bintang-bintang tenar dari Jakarta. Untuk tampil sebagai pemeran utama seperti dalam filmnya Bachtiar Siagian, anak Medan sepertinya sulit untuk mendapat kesempatan, walau sutradaranya adalah anak Medan. Menurut kata seorang teman yang telah lama bermukim di Jakarta, untuk dapat ‘numpang lewat’ saja sudah sukur. Untuk jadi pemain utama itu bukanlah hal yang gampang, ucapnya.

Mencermati semua itu nafas memang harus kita tarik panjang. Seniman Medan yang hijrah ke Jakarta, yang bergerak di film sebenarnya cukup banyak. S. Dalimunte terkadang terlihat juga sesekali wajahnya di layer kaca. Begitu juga As. Atmadi yang kini bertukar nama menjadi Ronjas. Senetron Aleks Latif walau belum menjadi buah bibir masyarakat banyak, senetron ‘ keluarga cemara’ yang awalnya di sutradarai oleh Edward Pesta Sirait itu memang harus kalah bersaing dengan senetron kacangan yang tujuannya hanya untuk menjadikan media layar kaca sebagai sarana hiburan. Satu waktu dulu, sewaktu Najib Bahadur masih hidup, orang-orang Medan yang ada di Jakarta tetap memperhatikan perkembangan dunia kesenian yang ada di Medan. Usaha kawan-kawan di Jakarta yang untuk tetap terlibat dalam memajukan seni film di Medan perlu mendapat acungan jempol, tapi usaha itu memang tak pernah terwujud, tapi usaha mereka sudah jauh dari cukup.

Kini , di abad platinum ini, usaha kawan-kawan yang ada di Jakarta untuk meningkatkan kegiatan seni di Medan kembali berulang. Kali ini usaha kawan-kawan seniman yang pluas Sumatera Utara yang berdomisili di Jakarta akan menerbitkan antologi sastra. Ide ini tercetus saat seniman-seniman Medan lagi ber-halal bi halal . Di facebook Idris di Pasaribu kabar ini ia tuliskan dengan nada yang agak sedikit miring. Sastrawan Medan yang ada di Jakarta akan menerbitkan antologi sastra tanpa ada melibatkan penulis yang ada di Medan. Tapi peluncurannya di Medan. Apa ini bukan pelecehan namanya? Begitu kira-kira tanggapan Idris Pasaribu di face book nya. Pelecehan? Penulis kurang paham yang dimaksud Idris Pasaribu yang ia maksud dengan ‘pelecehan’. Ada kawan di perantauan yang sutradara pulang kampong untuk membuat film seperti Abrar Siregar, kawan-kawan di Medan ia pakai cuma sebagai figuran, tapi waktu itu tak ada yang merasa anak Medan di lecehkan. Kini kembali anak Medan di perantauan berhasrat menerbitkan antologi sastra, dan itupun ternyata penulis dan sastrawan Medan mereka libatkan untuk mengirimkan karyanya dalam bentuk cerpen, puisi dan esei. Bila Idris dalam face booknya menulis anak Medan tidak dilibatkan, Idris mungkin belum mendapat undangan untuk mengirimkan karyanya ke antologi sastra yang akan diterbitkan itu.

Usaha saudara kita di perantauan untuk meramaikan bunga rampai sastra di tanah air haruslah kita sambut gembira walau tulisan ini tidak disrtakan dalam antologi yang diterbitkan nantinya.

Dawis Rifai Harahap.

Jumat, 09 Oktober 2009

tabloid untuk anak

dalam waktu dekat tabloid untuk anak akan diluncurkan yayasan Citra imago Medan desember mendatang. Mudah-mudahan bahan bacaan untuk anak ini dapat bermenfaat buat anak-anak Indonesia.