tena

Tena salah satu grup Teater di Medan yang masih eksis di bawah arahan Yan Amarni Lubis. Produksi Teater Nasional ( Tena ) memang tidak banyak di usianya yang hampir setengah abad.

Burhan Piliang, Isqak,S, Mazwad Azham, Sori Siregar dan Rusli Mahadi adalah pendiri Teater Nasional , tepatnya tanggal 28 Oktober 1963, dengan produksi ' Garis Pisah' karya Taguan Hardjo, yang di pentaskan di Balai Prajurit dekat kantor Pos Besar Medan.

Senin, 18 Oktober 2010

ALDIAN ARIPIN TELAH BERPULANG

ALDIAN ARIPIN
PENYAIR ELIPSIS ITU TELAH TIADA
Oleh : D. Rifai Harahap.
Laki-laki berkulit sedikit gelab itu memasuki halaman Taman Budaya Medan dengan sntai. Sebuah tas kecil berwarna hitam ia kepit di tangannya. Langkahnya lurus menuju kantin. Begitu melihat sosok laki-laki berkulit gelab itu muncul dipusat kesenian Medan aku sepontan bangkit dan menyambut kehadiran laki-laki berkulit gelab itu sambil mengulurkan tanganku padanya. Terakhir aku bertemu dengannya sekitar tahun 1974 saat ia sedang bertugas di Riau sebagai petugas Imigrasi. Awal pertama aku mengenalnya sewaktu dia masih bertugas di Imigrasi Medan, waktu itu ia masih berkantor di Kesawan. Dari Burhan Piliang (Alm) aku dapat tahu sosok laki-laki yang berkulit gelab itu bernama Aldian Aripin. Disamping sebagai pegawai negeri sipil, ia juga adalah seorang penyair. Salah satu buku kumpulan pusi bersama dengan Djohan A Nasution dan Z. Pangaduan Lubis yang berjudul Ribeli 66. Buku itu diterbitkan sendiri oleh Aldian Aripin dengan nama penerbit Sastra Leo Medan.
Tanggal 15 Oktober 2010 lalu, tepatnya hari Jumat, A. Rahim Qahhar yang juga adalah seorang penyair,penulis cerita pendek dan wartawan , mengirimkan sms pada penulis yang isinya mengabarkan bahwa penyair Aldian Aripin telah berpulang sekitar jam 9.00 Wib saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun...Penyair alit itu akhirnya telah memenuhi janjinya setelah sekian lama menderita sakit yang membuat ia tak lagi dapat menuangkan ide-idenya kedalam bentuk tulisan. Ia yang dilahirkan tanggal 1 Agustus 1938 di Kota Pinang, Labuhan Batu, saat p[enulis dan penyair Teja Purnama datang melayat, didepan kami terbaring tenang Bang Aldian Aripin, yang kala hidupnya banyak membantu setiap kegiatan pementasan yang diselenggerakan oleh Teater Nasional Medan sekitar tahun 1968-1969 dan 1970. Bang Aldian Aripin adalah donatur Tena dan perhatiannya pada kegiatan kesenian di Medan ia buktikan sampai ia menjalani masa pensiun di tahun 1995. Sebagai seorang pejabat yang pernah ditempatkan pada posisi penting di beberapa kota , seperti Medan, Pekan Baru, Bagan Siapi-api, Lhokseumawe, Padang dan Jakarta, mantan pejabat teras di instansi Imigrasi itu ternyata tidak berat langkahnya untuk memasuki kantin Taman Budaya dan duduk lesehan di bawah pohon asam demi memberi masukan kepada seniman-seniman muda yang sering mangkal di Taman Budaya Medan. Ia adalah pejabat yang memang benar-benar seniman. Ketulusan dalam berkesenian, ketulusannya dalam membantu setiap kegiatan kesenian, ia buktikan dengan menerbitkan sendiri beberapa buku sastra dan biografi tentang dirinya yang dijilit apik. Tidak itu saja, Aldian Aripin semasa hidupnya juga sangat menyenangi kerja film. Untuk mewujutkan hobinya itu, ia mendirikan perusahan film yang ia beri nama Leo Amatieur Film bersama Burhan Piliang, Khalik Noor, Slamet dan Iskaq S. Leo Amateur Film ditahun 1968 telah memproduksi film cerita yang berjudul “ Tuah Ta “ . Film yang berdurasi sekitar satu jam lebih itu dibuat mempergunakan pita sellouid berukuran 8 mm. Tidak saja semasa bertugas di Medan, kemanapun Aldian Aripin ditugaskan, pertama-tama yang ia cari adalah seniman-seniman yang ada dikota dimana ia ditugaskan. Maka tidak heran, di Pekan Baru, Palembang, Padang, bakat besarnya itu tak pernah padam.
Kini Aldian Aripin telah tiada. Seperti yang ia tuangkan dalam baris puisinya di bawah ini.
Bila gerak surut ke dalam diam
Siang larut ke dalam malam
Putih diserap hitam
Rata.rata.
Bila surut kedalam dia ia tulis tahun 1984. Bentuknya memang sederhana sekali.Tapi lewat pusi pendeknya itu ia mampu mengungkapkan manusia sebagai makhluk yang tertinggi ( karena akal budinya) , yang berpacu dengan waktu serta berpacu dengan dirinya sendiri. Mari kita simak puisi alit Aldian Aripin dibawah ini.
Manusia
Alangkah majunya manusia
Berpacu dengan waktu
Berpacu dengan dirinya

Alangkah sepinya puisi
Berdenyut malam hari
Dalam hati
Kini ia telah berada di tempat peristrahatan terakhirnya. Puisi-puisinya tinggal didunia yang fana ini sebagai ibadah yang akan terus menerangi jalannya dimana tak lagi ada puisi disana. Ia meninggalkan seorang isteri yang bernama Zubaidar Daulay, delapan anak putra dan putri, Amalia, Boris, Calderon, Dessafina, Ezra ( yang juga adalah seorang penyair ), Femmy skotia, Gita Kencana, dan Honore Siampudan.
Setiap yang bernyawa memang harus berurusan dengan kematian. Giliran itu pasti. Seperti yang ia nukilkan lewat puisinya yang berjudul ;
Metafisik
Dunia di luar dunia
Gelombang arwah
Tak terjemba
Luput dari mata

Dunia di luar dunia
Khidmat dan mulia
Dan Dia
Duduk di arasyNya
1970.
Kesanalah sekarang Aldian Aripin menuju, untuknya, dari anak-anak yang ditinggalkannya, ia sangat mengharapkan doa yang tak putus-putusnya. Selamat jalan Bang Aldian Aripin, semua kebaikan dan ketulusanmu dalam membantu kegiatan seni, moga jadi ibadah yang dapat memuluskan perjalan untuk bertemu denganNya. Amin.
(d. rifai harahap.)